“Bengawan Solo, riwayatmu ini
Sedari dulu jadi, perhatian insani”
Setangkup ubi goreng menemani teh manis hangat dengan gula batu, merasuk kedalam tubuh untuk bernostalgia menyelami aliran waktu Bengawan Solo. Ketika sang mentari menyelinap diantara dua gunung yang berdiri tegak, Merapi-Merbabu terngiang bahwa telah banyak kisah yang tercipta dari sang bengawan. Iringan lagu ciptaan sang maestro keroncong Gesang Martohartono mengisi ruang sunyi setelah seharian bergerak diantara hiruk-pikuk industrialis. Mendengarkan atau bersenandung lagu ini akan membawa kita kepada kenangan nostalgia terhadap suasana sekitaran Bengawan Solo pada masa silam. Sebuah kenangan yang membuat orang sejenak berkhayal membayangkan indahnya kejujuran, toleransi, hidup rukun, semangat bekerja keras, dan tentunya juga tentang cinta alam.
Lalu terbawa aliran arus masa lampau, jauh sebelum manusia modern menempati pulau Jawa, jutaan tahun yang lalu. Dahulu aliran sungai Bengawan Solo ini keselatan dan sekarang mengalir ke utara. Perubahan aliran sungai bengawan solo ini diperkirakan terjadi sekitar 4 juta tahun lalu. Karena proses pengangkatan geologis akibat desakan lempeng Indo-Australia yang mendesak daratan Jawa, aliran sungai itu beralih ke utara. Pantai Sadeng di bagian tenggara Daerah Istimewa Yogyakarta dikenal sebagai “muara” Bengawan Solo Purba. Bibir pantai diapit oleh perbukitan karang yang eksotis dan tampak garang. Dibalik perbukitan ini tampak sebuah lembah yang terus menuju garis pantai. Masyarakat sekitar menamai lembah panjang ini dengan nama Telaga Suling. Sungai purba ini berasal dari hulu sungai Bengawan Solo yang kini Anda kenal, yakni dari kawasan tepatnya di kawasan Wonogiri sekitar perbukitan tempat kini waduk Gajah Mungkur berada.
Berbeloklah arah aliran waktu, ternyata hulu sungai Bengawan Solo tidak hanya berasal dari pegunungan seribu. Airnya juga berasal dari gunung Lawu dan juga gunung Merapi. Sungguh aliran bengawan yang diberkahi alam semesta. Menembus batas sejumlah wilayah, Bengawan Solo bagaikan pembuluh darah bagi kehidupan Manusia Jawa yang berdenyut di sekitarnya. Ia adalah tumpuan harapan bagi mereka, tempat mereka berdoa dan melepaskan lelah, menghidupkan kerajaan di pedalaman, menyokong kehidupan purba hingga meniupkan peradaban masa kini. Terbukti banyak kisah juga peninggalan yang ditemukan di sepanjang aliran.
Berdasarkan hasil penelitian kehidupan manusia purba yang sebelumnya, wilayah yang teridentifikasi teras purba Bengawan Solo memiliki riwayat penemuan yang menakjubkan. Banyak fosil yang ditemukan diwilayah sepanjang teras Sungai Bengawan Solo ini. Seperti penemuan tengkorak dan tulang Homo erectus serta penemuan rangka utuh gajah purba. Wilayah-wilayah penemuan tersebut antara lain Sangiran, Sambungmacan, Cemeng, Trinil, Selopuro, dan Ngandong.
Melaju kearah yang lebih modern, ketika sang bengawan mulai menjadi pusat kerajaan Pajang. Jaka Tingkir, sang Raja Pajang melakukan perjalanan mengarungi bengawan dengan perahu. Dalam Babad Tanah Jawi, Jaka Tingkir pada akhirnya berhasil memindahkan Demak ke Pajang setelah membunuh Arya Penangsang merupakan putra dari Pangeran Sekar Sedalepen, adik dari Raja Demak yang kedua: Pangeran Pati Unus. Pati Unus hanya sebentar menjadi raja di Demak, karena kemudian ia gugur ketika memimpin pasukan yang mencoba mengusir sepasukan bangsa Portugis yang menguasai Malaka. Posisi raja di Demak kemudian diambil alih oleh Sultan Trenggono, anak ketiga dari Raden Patah. Aryo Penangsang yang menjadi Adipati Jipang dan berebut kekuasaan bekas Kerajaan Demak dengan Raja Pajang yang memindahkan pusat Kerajaan Demak ke Pajang. Pada saat perang itu, untuk pertahanan digalilah semacam parit yang melingkari Jipang lalu dihubungkan dengan Bengawan Solo hingga terbentuk lingkaran sungai melingkari Jipang. Pada sore hari, karena pengaruh gravitasi Bulan, air sungai Bengawan Solo pasang, sehingga sungai yang melingkari Jipang tadi menjadi penuh. Oleh karena itu sungai ini dinamai Bengawan Sore.
Akhirnya, terjadilah peperangan sengit antara Aryo Penangsang dengan Sutawijaya, seorang senopati Pajang, yang membawa tombak pusaka Kerajaan Demak, Tombak Kyai Pleret. Dan dengan tombak Kyai Pleret, Sutawijaya dapat merobek perut Aryo Penangsang. Tetapi, dengan kesaktiannya, Aryo Penangsang tidak apa-apa walaupun ususnya terburai keluar. Lalu, usus yang terburai tadi dikalungkannya pada keris di pinggangnya. Dan dengan kesaktiannya, Sutawijaya dapat dikalahkan. Aryo Penangsang mencabut kerisnya yang terkenal dengan nama Keris Setan Kober. Aryo Penangsang lupa bahwa ia masih mengalungkan ususnya di keris tersebut hingga akhirnya ususnya terpotong lalu meninggal. Sampai sekarang peristiwa Aryo Penangsang yang mengalungkan ususnya di keris masih diabadikan dalam acara temanten tradisional di daerah utara dan timur Jawa Tengah, di mana temanten lelaki mengalungkan rangkaian kembang melati di keris yang terselip di pinggangnya. Perjalanan Jaka Tingkir ini direkonstruksi warga Solo dalam sebuah Larung Agung di Sungai Bengawan Solo.
Rakit terus melaju, mengarungi arus waktu menuju kejayaan Pajang. Sungai ini menjadi jalur utama bagi perdagangan dan pelayaran sungai yang menghubungkan antara daerah pedalaman Jawa dengan laut, atau juga bisa dikatakan sebagai jalur keluar dan masuknya pertukaran ekonomi dan peradaban antara pedalaman Jawa dan dunia luar. Di daerah sekitar Solo sendiri kemudian masih bisa disebutkan tentang adanya desa yang berperan aktif dalam perdagangan ketika Kesultanan Pajang memegang kekuasaan, yaitu Laweyan. Jarak antara bandar tersebut biasanya hanya berkisar 15 kilometer dan ditempuh dengan pelayaran sungai. Pasar Laweyan berkembang pesat sebagai pusat perdagangan kain tenun untuk daerah pedalaman Solo. Kecuali itu beberapa produsen pengembang juga mulai berdatangan dan membentuk komunitas sendiri. Mereka kebanyakan berasal dari daerah Bayat, Kartasura, Kleco, Pajang dan Kedunggudel dengan memiliki keahlian masing-masing. Semua pengrajin tersebut kemudian membuka pemukiman tersendiri namun mempunyai ikatan khusus dengan Laweyan sebagai pusat kegiatan perdagangan kain tradisional.
Baik Semanggi maupun Solo merupakan desa yang menjadi bandar bagi perdagangan. Perahu dan rakit bergerak sesuai dengan arah angin yang berhembus. Pada saat angin bertiup ke barat maka perahu-perahu dagang ini bertolak dari pelabuhan Gresik menuju ke pedalaman dengan menyinggahi berbagai bandar sampai akhirnya tiba di bandar terakhir yakni Semanggi dan Solo. Pada saat angin berhembus ke timur, perahu-perahu ini kembali berlayar menuju arah muara dengan tujuan akhir ke Gresik. Tentu saja pelayaran sungai ini juga disesuaikan dengan debet air sungai Solo yang tinggi, mengingat beberapa perahu dengan tonase cukup besar tidak akan mampu berlayar pada saat kedangkalan air cukup rendah. Dalam pelayaran sungai ini produk-produk juga dibawa sesuai dengan arah pelayarannya. Dari Gresik dan muara sungai kebanyakan perahu ini mengangkut komoditi impor seperti rempah, peralatan rumah tangga, tembikar, kain sutera dan garam. Ketika berlayar kembali perahu-perahu ini akan membawa produk pertanian seperti beras, kelapa, gula kelapa, bawang, produk hutan seperti rotan, damar, lilin, madu dan sebagainya dengan tujuan diekspor.
Ketika Surabaya diambil alih oleh VOC dari Mataram pada akhir abad ke-17, VOC membangun pelabuhan Surabaya dan memfungsikannya sebagai suatu pelabuhan niaga yang besar. Letak Surabaya yang terlindung oleh pulau Madura di selatnya membuatnya aman bagi kapal-kapal untuk berlabuh dari ancaman terpaan langsung. Akibatnya aliran sungai Solo tidak lagi menguntungkan bagi daerah Gresik melainkan lebih banyak bermanfaat bagi Surabaya dan pedalamannya. Namun penggunaan sungai Solo sebagai saluran perdagangan justru meningkat selama abad ke-18 hingga abad ke-19 mengingat sulitnya jalan darat yang melewati hutan dan kerawanannya dalam bidang transportasi. VOC sendiri tenyata pada akhirnya memang memiliki kepentingan ekonomi di Sungai Bengawan Solo. Mereka membangun bandar di sana sebagai saingan bagi bandar Nusupan yang sudah ada sebelumnya. Setelah tahun 1744, VOC membangun benteng (dari kayu) Grootmoedigheid (sekarang bernama Vastenburg), didaerah sekitar pertemuan kali Pepe dan Sungai Bengawan Solo.
Sejak tahun 1830 telah terjadi proses eksploitasi agraria secara intensif dan besar-besaran atas wilayah Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Kondisi pembangunan fisik kota Solo pada era eksploitasi agraris memang tampak pesat relevan dengan meningkatnya kegiatan administrasi dan jasa perdagangan yang maju pesat terutama dari kegiatan perkebunan dan pabrik gula. Kota Solo sebagai pusat kota dagang dan administrasi kota kolonial sangat jelas tercermin dari fasilitas-fasilitas yang dibangun dan tumbuh didalamnya. Juga fasilitas-fasilitas perkotaan modern untuk seni dan rekreasi, klub-klub, taman-taman, dan juga fasilitas transportasi yang mendukung mobilitas cepat bagi kegiatan ekonomi.
Sejalan dengan perkembangan kereta api untuk mendukung perkebunan, transportasi kereta api juga memainkan peranan penting dalam merubah wajah kehidupan perkotaan Solo. Ketika usaha perkebunan gula dan pabrik-pabriknya mengalami perluasan yang tak terkendali, tuntutan dan kebutuhan bagi pengangkutan produk gula menjadi semakin meningkat. Sarana transportasi yang ada yaitu dengan pengangkutan perahu di sungai Solo tidak lagi menutup kebutuhan itu mengingat pendangkalan yang telah terjadi di sungai itu sehingga tidak layak lagi digunakan untuk pelayaran perahu besar. Di samping faktor bertambahnya pemukiman di sepanjang sungai Solo, kondisi ekologi yang berpengaruh pada aliran sungai ini juga terjadi selama Tanam Paksa sebagai akibat dari penguasaan hutan-hutan di Madiun dan Ngawi oleh pemerintah kolonial yang diikuti dengan penebangan secara besar-besaran. Ini mengakibatkan terjadinya kerusakan pada ekosistem alam di sepanjang aliran sungai tersebut sehingga mengakibatkan tanah longsor. Kelongsoran tanah ini telah menimbuni pinggiran aliran sungai sehingga menambah volume lumpur pada aliran sungai tersebut. Akibatnya penyempitan aliran dan pendangkalan arus terjadi yang sangat mempengaruhi penggunaan aliran sungai ini oleh perahu-perahu yang biasa memakainya. Hingga saat ini pun, sepanjang aliran bengawan adalah pusat kegiatan ekonomi yang cukup pesat semakin membuat nasib sang bengawan menjauh dari fungsi awalnya.
Akhirnya tersembul makna tersembunyi dari lagu Bengawan Solo, diantara ubi goreng yang sudah tidak hangat lagi. Manusia sebagai pelaku kehidupan yang eksistensinya tidak akan lekang oleh waktu, Manusia yang memiliki kodratnya sendiri, yang memiliki kekurangan dan kelebihan, namun senantiasa harus bertindak sebagaimana layaknya seorang manusia sesuai fitrah-Nya dan menjadi pribadi yang berguna bagi alam dan sesamanya. Manusia dianugerahi pikiran oleh Tuhan, Membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lain sehingga sejak manusia lahir di dunia sebagai bayi yang polos, manusia itu akan terus belajar untuk mencapai puncak kehidupannya. Manusia makhluk yang mampu belajar tanpa harus mengalami sendiri suatu peristiwa secara langsung, oleh karenanya manusia yang membangun belajar dari masa lalu berbagi dan terus berbagi dengan alam dan sosial di sekitarnya dan mampu belajar melalui itu. Semoga kita menjadi manusia yang lebih peduli lagi kepada sejarah dan kepada lingkungan, salam.
Klaten, 21 Mei 2019
Boyak Ragha Dian Tambara.